Seperti
diketahui dunia periklanan di media televisi memang sangat menarik, apalagi
jika mengincar presiden. Iklan pada hakikatnya adalah sebuah karya kreatif,
yang mengusung sejumlah pendekatan-pendekatan dan teori psikologi. Jika tepat
sasaran, citra produk yang diiklankan akan tertanam cukup lama di benak
konsumen.Namun jika pendekatannya gagal, iklan akan diacuhkan dan dianggap
angin lalu.
Itu
sebabnya iklan politik di media massa topik bahasan menarik dan juga menuai
kritikan. Selain dinilai tidak memiliki dampak positif bagi rakyat dalam
menentukan pilihannya, juga bukan memberikan gagasan dalam bentuk-bentuk
platform atau program. Kecuali tidak lebih daripada sebatas pencitraan dari sang capres. Kebanyakan
pasangan capres dan pada tayangan iklan
televisi masih bertumpu pada ikhwal pengenalan diri. Belum banyak yang
menyinggung visi, misi dan programnya.
Padahal
idealnya, penayangan iklan politik di televisi memuat pendidikan politik.
Dimana pemirsa tidak semata-mata disodori tayangan yang melebih-lebihkan figur
para calon presiden dan calon wakil presiden atau ikon-ikon yang tidak terkait
dengan pencerdasan rakyat. Seperti diketahui bahwa durasi tayang untuk iklan televisi bagi para
capres bertambah, dari 30 detik menjadi 90 detik, dimaksudkan untuk memberi
ruang yang lebih luas bagi capres guna
membeberkan visi, misi dan programnya. Namun ternyata itu belum dilakukan oleh semua
pasangan calon
Seharusnya,
menurut hemat saya, capres lebih
mengoptimalkan durasi tayang iklan dengan menampilkan materi-materi yang lebih
substansial, sehingga kampanye yang ditampilkan akan lebih berkualitas. Lebih
mendidik dan lebih memberi pencerahan. Sosialisasi memang tidak terlepas dari kepentingan
pokoknya, yakni mendapatkan dukungan
suara yang sebesar-besarnya. Ada segmen
masyarakat yang baru dapat mengerti kalau menerima informasi yang sederhana, sementara
pada segmen lain baru menjadi jelas setelah memperoleh uraian yang lebih rinci.
Iklan merupakan upaya untuk mempengaruhi
rakyat agar berkeinginan menentukan pilihan sesuai dengan yang dikampanyekan.
Sebagai
upaya mempengaruhi, tentu saja isinya tentang
janji sesuatu yang baik yang akan diwujudkan sebagai imbalan atas
pilihannya. Makin indah isi sosialisasi makin besar pula kemungkinan untuk
meraup dukungan rakyat. Masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan relatif mudah
terjebak pada jargon-jargon populis dari pesan kampanye yang kini mulai
merambah melalui media televisi.
Bagaimanapun,
pengaruh iklan capres di televisi kekuatannya
luar biasa karena disampaikan terus-menerus. Sebagaimana iklan umumnya, iklan
politik bertujuan menciptakan citra
serba positif tentang apa yang akan dipasarkan kepada konsumen. Bahwa mereka layak dipilih menjadi presiden karena mampu
membawa negara dan bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Melalui
iklan politik yang kreatif di televisi, kandidat capres sebenarnya masih
memiliki peluang untuk meningkatkan dukungan, lebih memilih menggunakan iklan televisi
untuk menbangun kualitas artisifisial dan dibuat-buat, irasional. Kadang jauh
dari kenyataan capres . Umumnya tidak membangkitkan naluri-naluri bawah sadar
pemirsa, namun hanya sensualitas dan mengumbar
solusi-solusi instan seperti lazimnya iklan produk komersial.
Menilai Pesan Iklan ARB
Lantas
bagaiman iklan Aburizal Bakrie (ARB) yang mengiklankan Soekarno yang juga
ayahanda Megawati Seokarno Putri sekaligus pendiri PDIP. Mantan ketua Kadin
pusat mempromosikan diri lewat iklan di dua televisi nasional yakni AnTV dan TV
One.
Pengusaha
sukses ini mempromosikan diri dengan memakai nama presiden, yakni presiden pertama,
Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid. Namun, hal menarik yang
perlu dikaji dari iklan Aburizal Bakrie yakni adanya nama Soekarno.
Apakah
strategi ARB memakai nama Soekarno sudah tepat, mengingat Soekarno adalah tokoh
kharismatik di PDIP. Jangan-jangan iklan yang memajang Soekarno hanya mengutungkan
PDIP dalam hal ini Megawati yang juga pewaris dari ayahandanya. Padahal, kita
ketahui sekarang ini PDIP mengisyaratkan Jokowi sebagai usungan pada Pilpres
mendatang.
Sayangnya
menurut saya iklan ARB memuat Soekarno belum mampu mendongkrak popularisnya,
justru sebaliknya lawannya Jokowi semakin meroket. Hal ini terlihat dari
beberapa survei menempatkan posisi ARB masih berada di bawah Jokowi, Jusuf
Kalla (JK), Prabowo, begitupula Wiranto. Jangan-jangan iklan yang ditayangkan di media swasta
tersebut justru memberi keuntungan tersendiri bagi PDIP dalam hal ini Jokowi.
Sementara
kita ketahui bahwa PDIP identik dengan Jokowi yang sementara ini naik daun di
kancah perpolitikan. Apakah tidak ada niat tim ARB mengevaluasi iklan tersebut.
Ataukah ARB bisa memilih tokoh lainnya seperti
dengan Jenderal Sudirman yang terkenal dengan pejuang dan diprediksi akan
memberi dampak utamanya di kalangan militer. Dalam analisa persaingan bahwa
jika kita memasuki kekuatan lawan, tunggulah kita akan kalah.
Saya
menganggap Soekarno merupakan kekuatan PDIP yang ada di dalamnya Jokowi. Saya
kira ARB harus melakukan perubahan iklan yang tidak memakai simbol-simbol Soekarno.
Lebih baik memilih simbol Sudirman serta tokoh lainnya, seperti Agus Salim yang
terkenal ketokohannya. Begitupula tokoh nasional sekaliber Ki Hadjar Dewantara yang
terkenal dengan tokoh pendidikan. Menurut pendapat saya jika ARB ingin tampil
beda, mereka harus mengubah iklan tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang tidak
ada hubungannya dengan lawan politiknya.
Akhir
kata iklan tersebut harus dievaluasi sampai sejauh efektifitasnya. Intinya,
jangan membuat suatu gebrakan sedangkan
lawan yang mendapatkan keuntungannya. (***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar