Mampukah SBY Dongkrak Pertanian Sulsel



http://www.fajar.co.id/politik/__icsFiles/afieldfile/2014/02/17/sby.jpg
resmi Presiden RI SBY dan Ibu Ani Yudhoyono berserta sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II melakukan panen padi di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan, Sabtu, 22 Agustus lalu memberi arti tersendiri terhadap motivasi petani meningkatkan sektor pertanian. Saat berkunjung orang nomor satu di Indonesia mengharapkan agar pertanian di Sulsel khususnya di daerah terus dikembangkan. Namun, apa yang menjadi keinginan SBY belum bisa terwujud. Pasalnya, sektor perbankan yang diharapkan menggerakkan usaha pertanian kini ogah membiayai usaha pertanian.
Perbankan yang diharapkan penggerak sektor pertanian malah kurang agresif di sektor ini. Padahal, pertanian jadi primadona Sulsel. Data dari Bank Indonesia (BI) wilayah Sulampua bahwa share kredit sektor pertanian tidak sebanding dengan potensi pertanian yang ada di Sulsel. Share kredit sektor pertanian hanya mencapai 1,71 persen. Dari Rp80,5 triliun kredit secara keseluruhan, sektor pertanian hanya mendapat kredit sebesar Rp1,3 triliun. Angka tersebut jauh berbanding terbalik dengan potensi pertanian yang ada di Sulsel. Ini berarti bahwa perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit sektor pertanian.Saya kira share yang masih tergolong rendah seakan membuyarkan keinginan SBY dalam rangka menggenjot sektor pertanian yang ada di Sulsel.
Saya berpendapat seharusnya perbankan lebih gesit memberi porsi ke sektor pertanian yang menjadi kekuatan atau komoditi Sulsel. Sektor pertanian mesti digenjot terkait pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Bank Syariah Paling Kecil
Bukan hanya perbankan umum ogah menyalurkan kredit pertanian, akan tetapi bank umum syariah juga demikian. Justru paling parah. Betapa tidak, share kredit pertanian khusus perbankan hanya 0,05 persen.  Data terakhir  yang terhimpun bahwa total kredit pertanian bank syariah hanya sekitar Rp3,01 miliar atau sekitar 0,05 persen dari realisasi kredit sektor pertanian (lokasi proyek) mencapai Rp5,6 triliun. Hal ini menandakan bahwa perbankan syariah belum memberi prioritas utama sektor pertanian. Ada kecenderungan pengereman kreditb di sektor ini disebabkan karena faktor resiko. Padahal, sektor pertanian memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Sulsel merupakan daerah memiliki sejumlah komoditas pertanian.
Melalui tulisan saya ini saya berharap ke depan bank syariah juga bisa berperan aktif terhadap perkembangan pertanian.
Sekadar diketahui luas lahan pertanian di Sulsel saat ini mencapai 526.000 hektar area (Ha). Namun patut juga dikhawatirkan alih fungsi lahan terus dilakukan akan menurunkan produksi padi dan tidak bagus untuk hasil produksi. Jika terjadi konversi 1% setiap tahun di Sulsel, setidaknya akan terjadi kekurangan 5.260 ha per tahun. Sekarang bisa dilihatkan bagaimana sawah yang berada di pinggir jalan hilang dan menjadi rumah atau pembangunan. Jika ini terus berlanjut maka Sulsel yang masuk daerah tidak rawan pangan bisa masuk daerah rawan pangan karena produksinya akan berkurang.Saya pikir Perbankkan turut mendukung aksi konversi ini dengan memberikan prioritas terhadap sektor non pertanian, sehingga bisnis properti, industri berkembang yang nota bene memanfaatkan lahan-lahan pertanian.
Panen raya yang dilakukan Presiden dan Ibu Negara, lahan pertanian yang akan dipanen seluas 100 Ha dari 1200 Ha lahan yang ada di Sidrap jangan hanya sekali saja, akan tetapi keberlanjutan ke depan harus diperhatikan. Tentunya keinginan tersebut hanya bisa terwujud jika pertanian mendapat dukungan dari perbankan. Perbankan jangan hanya melirik sektor perdagangan, akan tetapi harus memberi porsi lebih banyak sektor pertanian. Akhir kata diharapkan kunjungan ini perbankan ke depan memberi porsi lebih banyak ketimbang sektor perdagangan. (***)

Strategi Menghadapi LTV



 http://lintasberita.in/image/bisnis-broker-properti-tumbuh-pesat.jpg
Kebijakan Loan to Value (LTV) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) tahun lalu mulai memberi dampak terhadap penjualan rumah. Akibatnya, terjadi penurunan penjualan rumah yang berakibat pada kredit properti ikut turun.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) wilayah Sulampua (Sulawesi, Maluku, Papua) bahwa kinerja  kredit properti  di triwulan IV 2014 secara tahunan memang mengalami pertumbuhan sebesar 21,09 persen%, namun terjadi perlambatan  dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat 28,46%. Raihan ini disebabkan karena aturan LTV yang diterapkan BI kepada pengembang.
Aturan tersebut tercantum dalam Surat Edaran (SE) BI No 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 tentang penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.
Kebijakan LTV dikeluarkan karena dikhawatirkan lonjakan kredit di sektor ini akan memicu overheating kredit sehingga sangat rawan menjadi kredit bermasalah. Banyak kalangan menilai  regulasi baru ini dianggap  tidak populis dan membuat pasar menjadi tidak kondusif. Bahkan, aturan tersebut akan menyulitkan konsumen properti pada masa depan.
Lantas jenis rumah apa paling kena dampaknya?
Jika dilihat dari aturan yang berlaku bahwa kebijakan LTV dan larangan inden Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan seterusnya berdampak terhadap penjualan rumah khususnya terhadap lamanya proses penjualan dan penurunan permintaan. Saya mencatat penurunan penjualan rumah tersebut utamanya terjadi pada rumah tipe besar yakni di atas tipe 70 m2 seharga Rp500 juta ke atas. Berdampaknya tipe menengah atas menandakan bahwa masyarakat atau user menunda membeli rumah kedua. Sebab, rumah tipe di atas 70 ke atas memang diminati masyarakat yang ingin membeli rumah kedua.
Sementara untuk rumah tipe menengah yakni 36 hingga 70 m2 dan tipe di bawah kecil 36 m2 dampaknya tidak terlalu besar. Hal itu disebabkan karena masyarakat menyadari betul bahwa memiliki rumah layak huni merupakan hal yang sangat penting.
Kondisi tersebut terkonfirmasi tingkat serapan rumah survei pada triwulan IV sebesar 57,98 persen menurun dibanding triwulan sebelumnya 74,40 persen. Serapan terendah terjadi pada rumah tipe besar 42,81 persen. Diikuti tipe menengah 57,62 persen. Dan tipe kecil 66,02 persen.
Selain itu penurunan penjualan rumah disebabkan karena suku bunga KPR masih relatif tinggi. Umumnya pada kisaran 7,11 hingga 12,8 persen.
Lantas bagaimana solusi terbaiknya?
Berdasarkan hasil analisa saya bahwa kebijakan tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut mengganggu penjualan rumah. Saya kira masih banyak masyarakat mestinya memiliki rumah. Olehnya itu, saya berpendapat pengembang atau penusaha bergerak sektor properti seharusnya membuat langkah strategis. Saya mengusulkan beberapa strategi diantaranya, pengembang seharusnya memberikan kemudahan pembayaran Dawn Paymen (DP) atau muka kepada pembeli. Dengan memberikan kemudahan berupa mengangsur uang muka kepada masyarakat adalah langkah yang paling tepat. Biarkan masyarakat mengansur dua atau tiga kali sebelum melakukan akad kredit. Dengan demikian masyarakat merasakan keringanan.
Langkah kedua yakni membatasi produksi. Saya kira langkah kedua ini dilakukan dengan cara mengurangi produksi. Tujuannya agar biaya produksi seefisien mungkin. Jangan membangun rumah sebelum ada yang memastikan membelinya. Hal ini juga berguna agar keuntungan tidak berkurang. 
Dan ketiga, pengembang seharusnya  menyediakan skim pembayaran tunai bertahap. Dengan langkah tersebut saya kira pengembang bisa membantu masyarakat memiliki rumah layak huni. (Rusli Siri)