Kebijakan
Loan to Value (LTV) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) tahun lalu mulai
memberi dampak terhadap penjualan rumah. Akibatnya, terjadi penurunan penjualan
rumah yang berakibat pada kredit properti ikut turun.
Berdasarkan
data dari Bank Indonesia (BI) wilayah Sulampua (Sulawesi, Maluku, Papua) bahwa
kinerja kredit properti di triwulan IV 2014 secara tahunan memang
mengalami pertumbuhan sebesar 21,09 persen%, namun terjadi perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat
28,46%. Raihan ini disebabkan karena aturan LTV yang diterapkan BI kepada
pengembang.
Aturan
tersebut tercantum dalam Surat Edaran (SE) BI No 15/40/DKMP tanggal 24
September 2013 tentang penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan pemberian
kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi
beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.
Kebijakan
LTV dikeluarkan karena dikhawatirkan lonjakan kredit di sektor ini akan memicu overheating kredit sehingga sangat rawan
menjadi kredit bermasalah. Banyak kalangan menilai regulasi baru ini dianggap tidak populis dan membuat pasar menjadi tidak
kondusif. Bahkan, aturan tersebut akan menyulitkan konsumen properti pada masa
depan.
Lantas
jenis rumah apa paling kena dampaknya?
Jika
dilihat dari aturan yang berlaku bahwa kebijakan LTV dan larangan inden Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) dan seterusnya berdampak terhadap penjualan rumah
khususnya terhadap lamanya proses penjualan dan penurunan permintaan. Saya
mencatat penurunan penjualan rumah tersebut utamanya terjadi pada rumah tipe
besar yakni di atas tipe 70 m2 seharga Rp500 juta ke atas. Berdampaknya tipe
menengah atas menandakan bahwa masyarakat atau user menunda membeli rumah
kedua. Sebab, rumah tipe di atas 70 ke atas memang diminati masyarakat yang
ingin membeli rumah kedua.
Sementara
untuk rumah tipe menengah yakni 36 hingga 70 m2 dan tipe di bawah kecil 36 m2
dampaknya tidak terlalu besar. Hal itu disebabkan karena masyarakat menyadari
betul bahwa memiliki rumah layak huni merupakan hal yang sangat penting.
Kondisi
tersebut terkonfirmasi tingkat serapan rumah survei pada triwulan IV sebesar
57,98 persen menurun dibanding triwulan sebelumnya 74,40 persen. Serapan
terendah terjadi pada rumah tipe besar 42,81 persen. Diikuti tipe menengah
57,62 persen. Dan tipe kecil 66,02 persen.
Selain
itu penurunan penjualan rumah disebabkan karena suku bunga KPR masih relatif
tinggi. Umumnya pada kisaran 7,11 hingga 12,8 persen.
Lantas
bagaimana solusi terbaiknya?
Berdasarkan
hasil analisa saya bahwa kebijakan tersebut tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut mengganggu penjualan rumah. Saya kira masih banyak masyarakat
mestinya memiliki rumah. Olehnya itu, saya berpendapat pengembang atau penusaha
bergerak sektor properti seharusnya membuat langkah strategis. Saya mengusulkan
beberapa strategi diantaranya, pengembang seharusnya memberikan kemudahan
pembayaran Dawn Paymen (DP) atau muka kepada pembeli. Dengan memberikan
kemudahan berupa mengangsur uang muka kepada masyarakat adalah langkah yang
paling tepat. Biarkan masyarakat mengansur dua atau tiga kali sebelum melakukan
akad kredit. Dengan demikian masyarakat merasakan keringanan.
Langkah
kedua yakni membatasi produksi. Saya kira langkah kedua ini dilakukan dengan
cara mengurangi produksi. Tujuannya agar biaya produksi seefisien mungkin.
Jangan membangun rumah sebelum ada yang memastikan membelinya. Hal ini juga
berguna agar keuntungan tidak berkurang.
Dan
ketiga, pengembang seharusnya
menyediakan skim pembayaran tunai bertahap. Dengan langkah tersebut saya
kira pengembang bisa membantu masyarakat memiliki rumah layak huni. (Rusli
Siri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar