Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) yang mengandalkan 60 persen material impor, terancam
berkinerja kurang memuaskan apabila kurs rupiah tembus di angka Rp12.000 per
dolar Amerika Serikat (USD). Menurut saya industri yang paling terkena
dampaknya yaitu mereka yang menggunakan skema kontrak jangka pendek antara 1-2
bulan.
Sementara
mereka yang menggunakan skema kontrak perdagangan jangka panjang minimal enam
bulan, bisa terselamatkan. Sepengetahuan saya industri yang menggunakan skema
kontrak jangka pendek cukup banyak jumlahnya.
UKM yang Merana
Industri
UKM harus menanggung kerugian cukup besar akibat tidak stabilnya nilai tuka
rupiah terhadap USD.Nilai
tukar rupiah terhadap USD berdasarkan data Bloomberg sore ini ( 7/1)berada di
level Rp12.018/USD. Posisi ini melemah 132 poin dari penutupan kemarin di level
Rp11.886/USD. Masih berdasarkan data Bloomberg, rupiah pagi ( 8/1) tadi dibuka
pada level Rp11.880/USD. Adapun, posisi rupiah terkuat hari ini di level Rp11.858/USD
dan terlemah di level Rp12.028/USD. Data yahoofinance mencatat, mata uang
domestik hari ini (8/1) di level
Rp11.995/USD, dengan kisaran harian Rp11.885-11.988/USD. Posisi ini terkoreksi
signifikan 110 poin dari penutupan sore kemarin di level Rp11.885/USD. Sangat besar pengaruh baik untuk pelaku usaha
besar maupun terhadap pelaku UMKM.
Kondisi
demikian saya khawatirkan membuat pelaku UMKM tidak mampu membeli bahan baku
impor, dan memilih menghentikan usahanya sebagai langkah terakhir. Atau bisa
saja pelaku UKM yang bahan bakunya impor bisa beralih atau membanting usaha.
Saya
beranggapan, apabila rupiah tidak kunjung membaik akan terjadi
kekhawatiran akan terjadi perlambatan impor. Tak bisa dipungkiri bahwa
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), pada
akhirnya turut mempengaruhi keberlangsungan usaha kecil menengah (UKM) pada
umumnya di Indonesia, dan pada khususnya di Sulsel.
Sesungguhnya menguatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah
memberikan dampak positif terhadap aktivitas ekspor Indonesia, namun pada
kenyataannya pelaku UKM dihadapkan dengan kondisi melonjaknya sejumlah harga
bahan baku di pasaran sehingga mereka terpaksa menaikkan harga jual produknya
ke konsumen.Bila
memutuskan kenaikan harga, pertanyaannya adalah apakah kemudian dapat diserap
konsumen.
Jangan-jangan keputusan tersebut mengakibatkan pembeli berkurang. Tentu ini resiko yang mungkin terjadi. Di sisi lain daya beli masyarakat juga berpotensi mengalami penurunan menurun akibat kondisi perekonomian yang belum menentu. Belum lagi pemerintah di awal tahun ini berencana menaikan harga LPG. Meski kemudian direvisi tapi harga barang sudah terlanjur naik.
Jangan-jangan keputusan tersebut mengakibatkan pembeli berkurang. Tentu ini resiko yang mungkin terjadi. Di sisi lain daya beli masyarakat juga berpotensi mengalami penurunan menurun akibat kondisi perekonomian yang belum menentu. Belum lagi pemerintah di awal tahun ini berencana menaikan harga LPG. Meski kemudian direvisi tapi harga barang sudah terlanjur naik.
Bila
kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut, saya prediksi jumlah permintaan
konsumen juga akan ikut berkurang. Akibatnya banyak pelaku UKM yang terkapar
lalu banting stir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar