Keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjalankan pemilihan legislatif dan eksekutif
secara serentak pada 2019 masih hangat diperbincangkan. Keputusan tersebut
memberi wana dalam percaturan politik. Kontelasi politik pasti akan berubah
yang tentunya akan menghemat anggaran pemilu yang beberapa tahun terakhir ini
semakin membengkak. Begitupula fungsi
dari eksekutif dan legislatif dapat dengan mudah dievaluasi, tidak hanya
berujung pada koalisi dan oposisi yang diatur oleh para petinggi partai. Namun
menurut saya pemilu serentak perlu ada proses agar pemilu serentak bisa
dilakukan di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah faktor teknis
di mana masyarakat akan direpotkan dengan banyaknya kertas suara.
Menurut
saya dengan adanya putusan tersebut setidaknya akan semakin memperkuat sistem
pemerintahan. Pelaksanaan demokrasi akan sesuai dengan konstitusi, akan memberi
ruang yang lebih atas terwujudnya sistem pemerintahan yang semakin kuat, akan
berkorelasi secara signifikan antara eksekutif dan legislatif.
Sebab,
jika Pemilu 2019 hanya ada satu undang-undang (UU) yang mengaturnya yakni UU
Pemilu yang akan memilih secara langsung anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kab/Kota dan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, karena rujukannya
konstitusi. Pasangan presiden dan wakil presiden harus menang minimal 50 persen
lebih dan tersebar sekurangnya 20 persen di lebih setengah jumlah provinsi.
Begitupula persyaratan untuk ikut pemilu serentak, mau tidak mau parpol peserta
pemilu harus lebih legitimate.
Jelas
sekali, kalau pemilu-pemilu itu digabungkan jadi satu atau dua maka akan
terjadi penghematan luar biasa. Demi efektivitas menghemat biaya bukanlah
tujuan utama pemilu serentak. Tujuan pemilu serentak adalah untuk menciptakan
pemerintahan kongruen, di mana pejabat eksekutif terpilih mendapat sokongan
mayoritas legislatif agar pemerintahan kuat dan efektif. Di sinilah pemilu
serentak memanfaatkan coattail effect demi mengejar efektivitas pemerintahan sebagaimana
terjadi dalam sistem parlementer.
Lebih
jelasnya, dalam pemilu serentak, kemenangan calon pejabat eksekutif dari Partai
A cenderung diikuti perolehan kursi mayoritas parlemen oleh Partai A atau
koalisi yang di dalamnya terdapat Partai A. Coattail effect ini terjadi karena
pemilih ataupun partai berpandangan sama: jabatan eksekutif lebih penting
daripada legislatif. Inilah yang mendorong partai-partai membangun koalisi jauh
hari sebelum pemilu. Saya kira dalam jangka pendek, pemilu serentak menciptakan
koalisi pemerintahan solid karena proses pembentukannya lama dan matang,
sedangkan di lain pihak, koalisi yang kalah
memperebutkan kursi presiden terpaksa menjadi oposisi.
Coba
kita bandingkan dengan proses pembentukan koalisi saat ini, di mana semua
partai menunggu hasil pemilu legislatif, yang jaraknya hanya satu bulan dari
jadwal pencalonan presiden. Proses pembentukan koalisi saat ini pun bertahap
koalisi sebelum pemilu presiden, lalu ada partai bergabung menjelang pemilu
presiden putaran kedua, dan ada partai masuk lagi seusai pemilu presiden.
Akibatnya,
koalisi yang dihasilkan pun rapuh.
Partai yang pertama bergabung merasa berhak mendapatkan kursi kabinet lebih
banyak; sementara partai lain, meskipun bergabung belakangan, juga merasa memiliki
hak serupa karena punya kursi besar di parlemen.
Lalu,
mereka menggunakan anggotanya di legislatif untuk mengganggu pemerintahan di
mana mereka ikut dalam koalisi. Berbeda dalam jangka panjang, pemilu serentak
dapat menyederhanakan sistem kepartaian karena koalisi baik yang menang maupun
yang kalah cenderung bertahan. Tentu ada partai yang berubah kawan koalisi,
tapi perilaku ini hanya pinggiran. Partai-partai utama cenderung dalam posisi
sama dalam berkoalisi. Selain itu, coattail
effect juga cenderung menggerus partai yang tak pernah punya calon presiden
hebat.
Kelebihan
model ini adalah kemampuannya dalam menciptakan pemerintahan kongruen secara
horizontal (hubungan legislatif- eksekutif) sehingga terbentuk pemerintahan kuat
dan efektif.Model ini juga akan menghindari pemerintahan terputus secara
vertikal (hubungan pusat-daerah).
Kembali
lagi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pelaksanaan pemilihan
anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden yang digelar serentak pada 2019.
Keputusan itu sudah final dan mengikat.
Olehnya
itu saya berharap masyarakat dan semua elemen bangsa menghormati keputusan MK
tersebut. Meski tidak 100 persen puas, keputusan MK harus dihormati. Sekarang
ini semua elemen masyarakat sebaiknya fokus pada penyelenggaraan Pemilu 2014.
Sebab sukses pemilu dan pilpres 2014 itu yang perlu dicapai.
Namun,
ada satu hal yang tentunya menjadi kekhawatiran saya terkait putusan MK
tersebut yakni apakah bisa konsisten. Bisa saja jika pasca pemilihan presiden
tahun ini atau sebelum tahun 2019 muncul sekelompok masyarakat yang melakukan
gugatan ke MK dengan menemukan fakta baru yang bisa mengubah keputusan tersebut.
Jika itu terjadi apa jadinya negara ini.
Mudah-mudahan apa yang menjadi kekhawatiran saya tidak terjadi demikian. Dan
tetap putusan awal yakni pelaksanaan pemilu secara serentak 2019 mendatang.
(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar